Senin, 13 Desember 2010

Permasalahan Dakwah

Dakwah ini bukan jalan tol yang lengang tiada halangan. Juga bukan jalan yang indah ditaburi bunga. Sebaliknya, jalan dakwah ini adalah jalan yang panjang, penuh onak dan duri, kerikil-kerikil tajam, tanjakan-tanjakan curam, dan belokan-belokan berliku. Maka, adalah hal yang sangat wajar jika tik ramai manusia yang mahu memijak jalan ini untuk meraih kemenangan sejati.
Dengan demikian, memasuki wilayah dakwah bukan sederhana. Kalau misalnya seorang daie sudah bulat tekad untuk menapaki jalan ini, belum tentu keluarganya: isteri atau suaminya, anak-anaknya, orang tua dan atau mertuanya, juga demikian. Bahkan, tetangga pun kadang kala turut serta dalam rombongan orang-orang yang menentang pilihan langkah sang dai
.
Isteri atau suami mana yang bersedia diajak hidup susah? Orang tua atau mertua mana yang tega melihat anak-cucunya menderita? Apalagi dalam keadaan kewangan yang hidup segan mati tak mahu, misalnya, peruntukan dana untuk dakwah malah lebih besar daripada peruntukan dana untuk keperluan harian. Dalam situasi demikian semangat untuk berjihad di jalan Allah-dengan harta dan jiwa menjadi terasa sangat berat.
Padahal Allah berfirman,
"Berangkatlah kamu-berperang di jalan Allah ini dalam keadaan ringan (lapang) maupun berat (sempit). Dan berjihadlah kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah..." (At-Taubah: 41)
Ertinya, tentangan dakwah yang pertama kali dihadapi seorang dai adalah tentangan internal: Problem diri dan keluarganya. Mengenai perkara ini, Ustaz Rahmat Abdullah rahimahullah membuat gambaran yang sangat menyentuh hati.
''Alkisah, sepasang belia membangun rumah tangga. Lepas walimah, sang suami pun harus berangkat kembali membina kader-kader dakwah. Kerja yang biasa dilakukan hingga larut malam. Malam panjang tanpa suami pun mendera, membungkusnya dalam selimut sunyi lalu melemparnya ke dalam nyala bara yang menghanguskan keindahan hari-hari madu mereka. Perang pun mulai berkecamuk: zauji au da'wati? (Istriku atau dakwahku).
Dengan mantap sang dai merangkum kata menang, 'Adindaku, kita bertemu di jalan dakwah. Allah melimpahkan kebahagiaan kepada kita dengan membimbing langkah kita ke dakwah yang diberkahi-Nya. Haruskah kita meninggalkannya, sesudah kekuatan itu bersatu dan bertambah untuk lebih meningkatkan kontribusi kita bagi dakwah? ]angan kita langgar janji kita kepada-Nya, sehingga keturunan kita kelak akan tercerai-beraikan oleh pengkhianatan kita.'
Tahun-tahun silihberganti. Ketikabayang-bayangkejenuhan dan kepenatan melintas, istri tercintalah yang tak bosan-bosan mengobarkan semangat dakwah dan pantang menyerah. Sampai anak-anak mereka tak punya pikiran menyuruh tamu menelpon di lain waktu karena ayahnya sedang istirahat. Mereka berlomba membangunkannya. Ia jadi yakin, dakwahlah yang membangunkannya bukan anak-anak yang berkolaborasi dengan tamu dan penelpon yang tak tahu etika itu.
Profil yang lain menghadapi hal yang sama: 'Istriku atau dakwahku?' Satu jurus saja ia jatuh. Ketika dievaluasi, ia menangis dan bertekad; hujan, guntur dan badai tak boleh lagi menghalanginya dati tugas dakwah. Dan saat ia telah bersiap melaksanakan tekad dan ikrarnya, tiba-tiba terdengar suara sang mertua, 'Mertuaku atau dakwahku?' Sekali lagi ia tersungkur.
Tahun-tahun berlalu. Kedua profil itu bertemu; yang satu dengan produk dakwah yang penuh berkah yang lain dengan kemurungan, dunia yang membelenggu dan urusan keluarga yang tak kunjung selesai." Pada saat yang sarna, ketakutan akan kekurangan rezeki kadang juga datang menghampiri. Kekhawatiran akan keselamatan diri dan keluarga turut mengancam. Ada seorang aktivis dakwah dari kalangan pegawai negeri sipil, diancammeski secara tidak langsung-oleh atasannya akan dimutasi ke daerah terpencil jika masih aktifikut kegiatan partai. Sang aktivis takut, kalau-kalau ancaman itu serius, bisa-bisa kariernya akan mati. Istrinya menimpali, "Ya, Mas! Berhenti saja ngaji-nya, daripada nanti dipecat, ke mana lagi kita akan mencari pekerjaan?"
Ya, contoh-contoh seperti diungkapkan Al-Ustaz ada dalam dakwah kita. Kerana daie juga manusia, yang punya rasa, punya hati. Ada masanya iman meningkat dan segala ujian dakwah terasa ringan. Tapi ada pula masanya iman menurun, dan semua yang ada di jalan dakwah terasa sebagai beban yang sangat berat. Pada saat seperti itulah syaitan datang menawarkan janji-janji manis bahawa "mundur sejenak" dari jalan dakwah adalah pilihan yang sepenuhnya rasional.
"Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir) . Sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 268)
Mereka berkata, seperti orang-orang Badui yang tidak mau ikut ke Hudaibiyah, "syaghalatna amwaluna wa ahwaluna (kami sibuk dengan berbagai urusan pekerjaan dan urusan keluarga)." (Al-Fath:ll) Jika seorang daie berjaya menghadapi semua ujian "domestik" seperti itu, bukan bererti rintangan dakwah sudah habis. Lepas dari tentangan internal dia akan masuk dalam ujian-ujian eksternaI, iaitu derita-derita dakwah yang ditimbulkan oleh orang-orang yang memang tidak suka dakwah ini berkembang, baik dari kalangan non-muslim maupun orang-orang yang bergabung dengan musuh-musuh dakwah dalam tubuh umat Islam sendiri.
Syaikh Musthafa Masyhur mengatakan, tentangan eksternal pertama yang dihadapi seorang daie adalah keengganan manusia dari jalan Allah. Kerana itu, setiap daie wajib mempersiapkan diri untuk menghadapi penolakan masyarakat terhadap dakwahnya. Ia harus benar-benar faham bahwa untuk mendapat sambutan yang menggembirakan atau mencapai hasil yang memuaskan dalam dakwah bukanlah hal yang mudah. Mengapa? Kerana ia mengajak pada sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu manusia, mengajak untuk meninggalkan tradisi jahiliah yang sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka. Bahkan, mengajak untuk melawan thaghut yang selama ini mencekik leher mereka. Tentu saja, itu bukan hal yang ringan bagi mereka.
Dalam hal ini, setiap aktivis dakwah harus sabar dan terus meningkatkan kesabarannya. Walaupun manusia lari dari dakwahnya, ia tidak boleh putus asa. Ambillah teladanvNabi Yunus as. Beliau diberi "pelajaran" oleh Allah dengan dilemparkan ke dalam perut ikan paus karena meninggalkan umatnya yang tidak mau beriman meskipun beliau sudah berdakwah siang malam. Alhamdulillah, setelah mendapat pelajaran dari peristiwa luar biasa-ditelan ikan paus-tersebut, beliau menyedari kesalahannya dan segera kembali pada jalan dakwah dengan sabar, sehingga pada akhirnya umatnya pun beriman. Tentangan eksternal lainnya adalah ejekan, hinaan atau cercaan. Tidak jarang seorang daie yang mengajak umat ini kembali kepada Islam justru dianggap sebagai aneh atau bahkan dituduh sesat dan menyesatkan, meski yang diserukan itu tidak sedikit pun keluar dari Al-Quran maupun As-Sunnah. Istilah-istilah seperti fundamentalis, ekstrem, garis keras, bahkan disejajarkan dengan teroris, adalah yang biasa dialamatkan kepada aktivis dakwah yang istiqamah menyeru manusia kembali ke jalan Allah. Itu semua adalah pasti. Jangankan kita yang manusia biasa, Rasulullah saw. yang ma'shum (terpelihara dari kesalahan dan dosa) saja selalu diejek sebagai orang gila, dituduh berdakwah demi kepentingan dunia, memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa, dan sebagainya.
Bukan sekadar hinaan, rintangan dakwah juga berupa embargo ekonomi, penganiayaan, penyiksaan bahkan pembunuhan dan pengusiran dari kampung halaman. Rasulullah saw. beserta seluruh keluarga bani Hasyim dan bani AI-Muthalib selama tiga tahun diboikot di lembah (syi'b/camp) Abi Thalib. Musuh-musuh dakwah itu membuat piagam perjanjian yang melarang semua elemen masyarakat untuk melakukan akad nikah, berteman, berkumpul, berbicara, bertamu, dan mengadakan transaksi apa pun dengan keluarga beliau (bani Hasyim dan bani AI-Muthalib) secara keseluruhan.
Allah swt. berfirman,
"Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya untuk menangkapmu, memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah-lah sebaik-baik Pembalas tipu daya." (AI,Anfal: 30)
Kisah Bilal bin Rabah ra., Khabbab bin Al-Arts ra., keluarga Yasir ra., dan kisah lainnya dari generasi sahabat ra. adalah contoh-contoh nyata. Demikian pula yang dialami oleh generasi-generasi sebelumnya seperti bani Israel pada masa Nabi Musa as., generasi ashabul ukhdud, ashabul kahfi dan lainnya, mahupun generasi-generasi sesudahnya hingga hari Kiamat. Di zaman kiwari ini, kita dapat melihat dengan mata kasar, misalnya, bagaimana para aktivis dakwah dari jamaah Ikhwanul Muslimin di Mesir dianiaya dengan sangat tidak manusiawi oleh rejim Jamal Abdul Nasir; dipenjara hingga puluhan tahun, digiring untuk kerja paksa, dimasukkan dalam sel bersama anjing herder yang kelaparan, dicambuki dengan cemeti atau rotan, sehingga tidak sedikit dari mereka yang mati karena siksaan yang teramat kejam, dan sebagainya. Lebih teruk lagi, kekejian itu bukan saja ditimpakan kepada kalangan ikhwan tetapi juga kepada akhawat. Demikian juga ikhwan dan akhawat di Suriah, mereka dibantai tanpa peri kemanusiaan oleh rejim Ba'ats Annushairiyah pimpinan Hafidz Al-Asad.
Mengapa para aktivis dakwah mesti mengalami penyiksaan seperti itu? Bukankah mereka mengajak pada kebenaran, berjuang menegakkan keadilan dan menuntun manusia pada kesejahteraan hidup dunia dan akhirat? Itulah sunnatullah. Tidak seorang pun yang mengajak pada kebenaran dan berjuang menegakkan keadilan kecuali pasti menghadapi tentangan dari para ahli kebatilan dan pendukung-pendukung kezaliman.
Allah swt. berfirman,
"Dan begitulah, telah Kami tetapkan bagi tiap-tiap nabi, musuhmusuh dari para pendosa. Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong. " (Al-Furqan:31)
"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (Al-Buruj:8-9)
"Sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum kamu, dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah." (AI,Ahzab: 62)
Walaupun demikian, adalah sunnatullah juga bahawa pada akhirnya dakwahlah yang akan memperoleh kemenangan. Kebenaran dan keadilan akan tegak kokoh di muka bumi. Allah swt. berfirman,
"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan beramal shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nyauntuk mereka, dan Diabenar-benarakanmenukar (keadaan) mereka, sesudah dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka menyembah-Ku dan tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apa pun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik." (An-Nur:55)
Itulah janji Allah dan janji-janji Allah pasti dipenuhi-Nya.
Allah swt. berfirman,
"Tetapi kepunyaan Allah lah segala urusan itu. Tidakkah rang-orang yang beriman tahu, seandainya Allah menghendaki Dia akan memberi petunjuk kepada manusia semuanya. Dan orangorang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya, Allah tidak pernah menyalahi janji-Nya." (Ar-Ra'd: 31)
Mahasuci Allah. Segala puji hanya bagi-Nya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda